Pages

Sabtu, 11 Oktober 2008

Pemberdayaan Masyarakat Miskin

Memberdayakan masyarakat miskin
melaui sistem partisipatif dan berkelanjutan


Masalah utama yang dihadapi oleh Pemerintah Bali, khususnya Denpasar adalah bagaimana melakukan pembangunan yang mampu menyentuh kepentingan masyarakat kecil sehingga mereka dapat terbebas dari kemiskinan dan dapat hidup secara layak sebagai bagian dari warga negara yang berdaulat. Perkembangan situasi saat ini, dimana hasil-hasil pembangunan yang diselenggarakan pemerintah belum dapat dinikmati secara baik dan merata terutama oleh masyarakat di pedesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Keadaan ini semakin diperparah dengan naiknya harga BBM yang menimbulkan efek domino yaitu semakin meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok hidup yang membawa konsekuensi semakin meningkatnya kemiskinan struktural yang terjadi di masyarakat. Hal ini menyebabkan rakyat kecil menjadi semakin tertindas dan apabila kondisi ini tidak segera mendapatkan penanganan dari pemerintah maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi instabilitas politik dan ekonomi yang akan berimplikasi pada semakin meningkatnya masalah sosial.
Seperti kita ketahui masalah kesejahteraan rakyat merupakan tanggungjawab negara yang telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945. Untuk itu sudah merupakan kewajiban pemerintah yang bertindak sebagi eksekutif untuk mewujudkannya melalui program-program kerjanya. Salah satu model yang perlu diterapkan untuk mengentaskan rakyat miskin dalam kondisi saat ini adalah dengan metode partisipatif dan berkelanjutan. Sistem partisipatif dan berkelanjutan tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan suatu mekanisme yang mantap, mapan dan langgeng bagi upaya pengentasan kemiskinan melalui penumbuhkembangan kelompok-kelompok swadaya yang berasal dari rumah tangga miskin di perdesaan dan penumbuhkembangan usaha-usaha mikro yang mampu meningkatkan pendapatan keluarga. Model ini diterapkan dengan melakukan pendampingan memfasilitasi rakyat kecil khususnya di pedesaan agar mampu menemukan masalah kemiskinan yang dihadapi kemudian memecahkan masalah tersebut dengan potensi yang dimiliki sehingga pada akhirnya akan terbentuk kelompok-kelompok ekonomi rakyat yang tangguh dan mandiri.


Pemberdayaan anak sekolah dalam upaya
Meningkatkan kreatifitas berfikir anak

Banyak usaha sudah dilakukan dan ditempuh oleh berbagai kalangan akademisi/pendidik untuk meningkatkan taraf / kwalitas pendidikan, dari penyesuaian kurikulum sampai aturan pemakaian buku sekolah bahkan peningkatan gaji gurupun telah diupayakan hanya untuk semata-mata bagaimana caranya supaya mutu pendidikan di Indonesia umumnya, dan Bali khususnya supaya bisa lebih baik dan mempunyai daya saing di tingkat Internasional. Namun mereka lupa, bahwa anak-anak mulai tingkat Sekolah Menengah Pertama sampai perguruan tinggi tidak pernak diajarkan atau diajak ikut dalam usaha pemecahan mesalah pendidikan baik yang sifatnya teknis maipun non teknis. Selama ini terutama anak-anak SLTP dan SMU mereka hanya tahu tentang Organisasi Intra Sekolah (OSIS) tapi mereka tidak dilibatkan dalam masalah-masalah bagaimana caranya mengatasi kenakalan remaja, penyalahgunakan obat-obatan terlarang, bahkan yang lebih trendy saat ini adalah hubungan sex di tingkat anak-anak sekolah yang semakin menjamur. Memang kita semua mengakui semua itu adalah sebagai dampak dari alat-alat teknologi yang semakin canggih. Terlepas dari semua itu, untuk menanggulangi kegiatan anak-anak yang sifatnya negatif ini, salah satunya adalah memberdayakan mereka dengan mengajak ikut berfikir dan berbuat untuk bisa bebas dari hal-hal yang kurang relevan dalam proses belajar mengajar siswa. Artinya kita sebagai orang tua “guru” harus melibatkan siswa setiap mengambil keputusan. Dengan diikutsertakannya siswa (anak didik), secara tidak langsung akan ada beban/tanggung jawab dipundak mereka dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Partisipasi anak sangat diperlukan, disamping untuk ikut membenahi kepribadian murid, juga sangat merangasang agar bisa berfikir kreatif dan positif.

Menekan Kepadatan Penduduk ( I Gst Ngr Penatih)
Kepadatan penduduk di Kota Denpasar sangat perlu mendapat perhatian yang lebih extra. Sebab selama ini masalah kependudukan hanya baru dilakukan penertiban secara administrasi saja. Mungkin ini dilakukan terkait dengan usaha pencegahan tindak kriminal (penodongan, pencurian, pembunuhan dll). Ditingkat ini pun masih banyak penduduk yang tidak memenuhi syarat secara administrasi yang dapat tinggal di Kota Denpasar, padahal di pintu penyebrangan Gulimanuk katanya sudah ada petugas yang memeriksa kelengkapan administrasi bagi penduduk yang mau masuk ke Bali.
Pemerintah kota dalam hal instansi terkait, sudah waktunya melakukan seleksi terhadap penduduk pendatang yang tinggal di Denpasar. Artinya orang yang benar-benar kita perlukan tenaga dan pemikirannya barulah kita bisa datangkan dari luar. Sekalipun kita harus mendatangkan tenaga kasar, itu tidak masalah bila semua dikorrdinir termasuk tempat bermukim dan makan mereka diperhatikan. Ini terkait dengan pemberdayaan sumber daya lokal. Kalau tidak demikian terjadilah seperti sekarang ini, rumah-rumah kumuh, tanah pertanian habis dikontrakkan kepada pedagang tenda. Sebagai dampaknya terjadilah pemandangan yang tidak nyaman; sampah berserakan, saluran irigasi tersumbat, banjir dan penggunaan lahan kosong untuk parkir rombong bakso. Ini tentu tidak sesuai dengan semboyan Bali yang BALI ( Bersih, Aman, Lestari, Indah)
Penanganan gepeng (gelandangan dan pengemis) masih setengah hati/belum oftimal, terbukti diruas-ruas jalan protokol masih adanya anak-anak dan ibu-ibu dengan menggendong bayi, hanya untuk meminta-minta. Lebih ironis lagi penulis melihat langsung mereka menggepeng dibawah hujan yang sangat deras. Ini artinya apa? Artinya kehidupan di Kota Denpasar sudah sangat multikomplek antara kebutuhan hidup dan sempitnya lapangan pekerjaan, sementara penduduk yang datang dari luar Bali tak bisa dibendung. Akhirnya muncullah gaya hidup “mepongah-pongahan” . siapa yang pongah (tebal muka) merekalah yang bisa bertahan hidup.
Selama ini masyarakat Bali dininabobokan oleh kebanggaan KB yang dianggap berhasil. Cukup dua anak, laki perempuan sama saja. Sementara disisi lain penduduk pendatang dengan enaknya tanpa rasa malu melahirkan anak tiga sampai empat orang, belum ditambah sanak keluarga yang mereka ajak, yang nota bena kesemuanya tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Kalau memang pemerintah konsisten dalam upaya penertiban penduduk, marilah kita kaji bersama latar belakang terjadinya kesemrawutan Kota Denpasar, dan hal yang lebih paenting adanya peraturan yang jelas dan pasti didukung oleh sanksi yang tidak pandang bulu. Bila tidak demikian, Bali tinggal menunggu waktu akan kehilangan keunikan dan taksunya. Siapa yang bertanggung jawab?

0 komentar: